Sinergi Fiskal-Moneter untuk Pertumbuhan Berkelanjutan: Kritik Konstruktif atas Polemik Kebijakan Ekonomi Indonesia dari Perspektif Ekonomi Pariwisata

Polemik antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengenai arah kebijakan ekonomi mencerminkan dilema klasik koordinasi fiskal-moneter di negara berkembang. Artikel ini menganalisis kritik Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terhadap Bank Indonesia melalui kerangka teori ekonomi kontemporer dan bukti empiris dari jurnal-jurnal bereputasi Q1 dan Q2 dalam dua tahun terakhir (2024-2025).

Muhammad Rahmad, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti

12/11/202510 min read

Abstrak

Polemik antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengenai arah kebijakan ekonomi mencerminkan dilema klasik koordinasi fiskal-moneter di negara berkembang. Artikel ini menganalisis kritik Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terhadap Bank Indonesia melalui kerangka teori ekonomi kontemporer dan bukti empiris dari jurnal-jurnal bereputasi Q1 dan Q2 dalam dua tahun terakhir (2024-2025). Dengan perspektif unik sebagai praktisi ekonomi pariwisata yang menghadapi langsung dampak kebijakan terhadap UMKM sektor jasa, penulis berargumen bahwa akar permasalahan bukan terletak pada Bank Indonesia semata, melainkan pada fragmentasi kelembagaan, lemahnya transmisi kebijakan di level perbankan, dan arsitektur kebijakan yang dirancang untuk era berbeda. Rekomendasi kebijakan mencakup reformasi dual mandate, penguatan koordinasi formal fiskal-moneter, dan akselerasi inklusi keuangan digital untuk UMKM.

Kata Kunci: Koordinasi Fiskal-Moneter, Independensi Bank Sentral, Transmisi Kebijakan Moneter, UMKM Pariwisata, Inklusi Keuangan

1. Pendahuluan

Sepanjang September hingga November 2025, publik Indonesia menyaksikan perdebatan terbuka antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Bank Indonesia. Kritik Purbaya mencakup tuduhan bahwa dana pemerintah sebesar Rp800 triliun "mengendap" di Bank Indonesia, instrumen SRBI "mengeringkan" sistem finansial, dan suku bunga yang masih terlalu tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebagai praktisi yang mengelola perusahaan investasi bidang pariwisata dan akademisi di bidang pariwisata, penulis merasakan langsung bagaimana biaya modal tinggi menghambat ekspansi bisnis UMKM pariwisata. Namun, pengamatan lapangan dan kajian literatur menunjukkan bahwa permasalahannya lebih kompleks dari sekadar "Bank Indonesia terlalu ketat" atau "pemerintah kurang berani."

Artikel ini bertujuan meletakkan polemik tersebut dalam konteks akademis yang lebih luas, didukung bukti empiris dari penelitian-penelitian terkini di jurnal bereputasi internasional.

2. Kerangka Teoritis: Koordinasi Kebijakan Fiskal-Moneter

2.1 Pentingnya Koordinasi Kebijakan

Literatur ekonomi moneter kontemporer menegaskan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter merupakan prasyarat keberhasilan kebijakan makroekonomi, terutama di negara berkembang. Kronick dan Petersen (2025) dalam Journal of Economic Dynamics and Control menunjukkan bahwa konflik antara otoritas fiskal yang aktif membelanjakan untuk stimulus dan otoritas moneter yang menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi dapat menghasilkan spiral utang-inflasi ketika agen ekonomi bersifat forward-looking.

Temuan serupa dikemukakan oleh Oanh (2024) dalam SAGE Open yang menganalisis pengalaman Jepang periode 1998-2022. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal Jepang telah menjadi perhatian kritis dalam diskusi kebijakan sejak Bank of Japan memperoleh independensi lebih besar pada 1990-an. Ketika instrumen kebijakan moneter tradisional tidak memadai, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter dapat menjadi metode yang sangat baik untuk mendorong aktivitas ekonomi dan menciptakan inflasi. Namun, koordinasi terbukti sulit karena kurangnya kebijakan yang terkoordinasi menjadi hambatan terbesar.

2.2 Fragmentasi Kelembagaan: Tantangan Universal

Studi Lema et al. (2025) dalam Cogent Economics & Finance tentang Tanzania memberikan ilustrasi yang relevan bagi Indonesia. Negara-negara berkembang menghadapi tantangan kompleks dalam koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang menghambat lintasan pertumbuhannya. Masalah terkait formulasi dan implementasi kebijakan mencakup kapasitas kelembagaan yang lemah, koordinasi kebijakan yang buruk, dan ruang fiskal yang terbatas. Kondisi ini sering menghasilkan outcome yang tidak konsisten dan menurunkan efektivitas kebijakan fiskal maupun moneter.

Lebih lanjut, masalah struktural seperti ketergantungan pada dana donor eksternal, mobilisasi pendapatan domestik yang rendah, pasar keuangan yang belum berkembang, dan tingginya informalitas semakin membatasi dampak kebijakan makroekonomi. Kebijakan moneter khususnya bergumul dengan mekanisme transmisi yang lemah, di mana penyesuaian suku bunga atau likuiditas sering gagal mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lebih luas.

3. Independensi Bank Sentral: Bukti Empiris Terkini

3.1 Tren Global Independensi Bank Sentral

Romelli (2024) dalam pembaruan Central Bank Independence Extended (CBIE) Index mendokumentasikan tren independensi bank sentral untuk 155 negara selama periode 1923-2023. Data menunjukkan pergeseran global yang luar biasa menuju peningkatan independensi otoritas moneter.

Menariknya, Messono, Zambo, dan Bouebe (2024) dalam International Journal of Finance and Economics menemukan bahwa di Afrika, independensi bank sentral membantu mengurangi kerentanan ekonomi. Sementara banyak studi menyoroti pengaruh tingkat independensi bank sentral terhadap dinamika ekonomi dan keuangan, lebih sedikit yang diketahui tentang pentingnya hal tersebut bagi kerentanan ekonomi.

3.2 Independensi dan Inflasi: Hubungan Jangka Panjang

Penelitian terbaru oleh tim CEPR (2025) mengonfirmasi bahwa perbaikan independensi bank sentral menghasilkan manfaat jangka panjang, dengan dampak yang secara signifikan lebih besar terhadap inflasi dalam jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Temuan ini penting dalam konteks kritik terhadap Bank Indonesia: tekanan politik publik yang berulang justru berpotensi mengikis kredibilitas yang telah dibangun selama dekade terakhir.

Garriga dan Rodriguez (2023) dalam Economic Analysis and Policy menganalisis efek independensi bank sentral legal terhadap volatilitas inflasi di negara berkembang. Analisis empiris pada 96 negara berkembang antara 1980-2014 menunjukkan bahwa independensi bank sentral secara langsung dan tanpa syarat berasosiasi dengan volatilitas yang lebih rendah. Besaran efek ini lebih besar di negara-negara yang lebih demokratis.

3.3 Posisi Bank Indonesia dalam Perbandingan Regional

Berdasarkan Central Banker Report Cards 2024 dari Global Finance Magazine, gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo memperoleh nilai A-, lebih tinggi dari gubernur bank sentral Jepang (B+), China (B+), Korea Selatan (B+), dan Thailand (B). Penilaian ini mencerminkan keberhasilan Bank Indonesia dalam:

- Menempatkan risiko capital outflows sebagai prioritas

- Menjaga inflasi 2,13% (terendah dalam 2 tahun)

- Memantau ketat rupiah yang melemah 6,6% terhadap USD

- Mempertahankan stance prudent sambil menunggu kondisi global membaik

4. Transmisi Kebijakan Moneter: Di Mana Letak Penyumbatan?

4.1 Fenomena Global: Transmisi Lemah ke UMKM

Salah satu argumen utama Purbaya adalah bahwa UMKM tidak merasakan manfaat pelonggaran moneter. Bukti empiris menunjukkan ini adalah fenomena global, bukan kelemahan unik Indonesia.

Laporan IFC dan SME Finance Forum (Maret 2025) memperkirakan bahwa UMKM adalah pendorong inti aktivitas ekonomi global—menyumbang 90% bisnis, lebih dari 70% lapangan kerja, dan 50% PDB. Namun, di pasar berkembang dan ekonomi berkembang, akses ke layanan keuangan tetap menjadi tantangan kritis bagi UMKM untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja.

Studi IMF tentang Indonesia (2024) secara spesifik mengidentifikasi bahwa akses pembiayaan untuk UMKM tertinggal dari negara sebanding dan merupakan hambatan utama bagi pengembangan mereka. Biaya pinjaman yang lebih tinggi dibandingkan negara sebanding dan distribusi pembiayaan yang tidak merata antar sektor memperburuk tantangan tersebut, meninggalkan kesenjangan kredit substansial dengan 47% permintaan tidak terpenuhi. UMKM menghadapi suku bunga tinggi, kurangnya agunan, literasi keuangan rendah, dan proses aplikasi yang kompleks.

4.2 Asimetri Transmisi di Indonesia

Penelitian Handayani dan Kacaribu dalam Bulletin of Monetary Economics and Banking Bank Indonesia mendokumentasikan transmisi asimetris kebijakan moneter ke suku bunga di Indonesia. Temuan empiris mengungkap konsekuensi asimetris yang berasal dari implementasi kebijakan kontraksi/ekspansi moneter, serta efek yang dihasilkan dari variasi karakteristik bank.

Data aktual menunjukkan:

- BI Rate turun 125 basis points sepanjang 2025

- Suku bunga deposito 1 bulan turun hanya 56 basis points

- Suku bunga kredit turun hanya 20 basis points

- Special rate deposito besar mencapai 27% dari total DPK

4.3 Sinergi Kebijakan Moneter-Makroprudensial

Studi terbaru dalam Emerging Markets Finance and Trade (2024) menguji efisiensi transmisi kebijakan moneter melalui saluran pinjaman bank di Indonesia, dengan penekanan khusus pada interaksinya dengan kebijakan makroprudensial. Hasil analisis memberikan dukungan empiris untuk efisiensi saluran pinjaman bank dalam konteks kerangka kebijakan moneter dan makroprudensial. Temuan menggarisbawahi pentingnya interaksi makroprudensial dalam memoderasi efek kebijakan moneter.

Koefisien interaksi 0,008 antara kebijakan moneter dan makroprudensial mengungkapkan bahwa ketika kebijakan makroprudensial diperketat bersamaan dengan kebijakan moneter, efek negatif terhadap kredit bank total dimitigasi menjadi -1,8%, dibandingkan penurunan -2,6% ketika kebijakan moneter diperketat secara terisolasi.

5. Supply Shock dan Dilema Kebijakan Moneter

5.1 Respons terhadap Guncangan Pasokan

IMF Working Paper (Erceg, Lindé, dan Trabandt, 2024) mengembangkan model makroekonomi dengan kurva Phillips harga dan upah nonlinear. Kerangka nonlinear mereka mengimplikasikan bahwa resep standar untuk looking throughguncangan pasokan adalah kebijakan yang baik untuk guncangan kecil ketika inflasi dekat dengan target bank sentral, tetapi kebijakan semacam itu mungkin cukup berisiko ketika aktivitas ekonomi kuat dan guncangan besar mendorong inflasi jauh di atas target. Model mereka mengimplikasikan bahwa sikap ketat terhadap biaya ekonomi bertujuan mengembalikan inflasi dengan cepat ke target yang diinginkan.

5.2 Spesifisitas Negara Berkembang

Gita Gopinath, Deputy Managing Director IMF (Mei 2025), menegaskan bahwa transmisi kebijakan moneter tampak terasa lebih lemah di negara berkembang dibandingkan negara maju, dan bergantung baik pada kondisi keuangan global maupun pada ketergantungan bank negara berkembang terhadap pembiayaan eksternal.

Perbedaan kedua antara negara maju dan berkembang adalah kredibilitas kebijakan moneter yang relatif lebih lemah untuk menghasilkan inflasi rendah. Sementara negara berkembang telah memperbaiki kerangka mereka secara substansial, ekspektasi inflasi masih cenderung kurang terangkur dibandingkan di negara maju. Akibatnya, terdapat pass-through yang lebih tinggi dari guncangan biaya ke inflasi.

6. Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi

6.1 Bukti Empiris dari Asia

Hussain et al. (2024) dalam SAGE Open menginvestigasi hubungan empiris antara inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi untuk sampel 21 negara Asia selama periode 2004-2019. Temuan menunjukkan hubungan positif yang signifikan.

Studi lain oleh Hoque et al. (2024) dalam PLOS ONE menganalisis data 108 negara berkembang. Temuan mendemonstrasikan efek positif yang dominan dari variabel Fintech terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui perbaikan sistem pembayaran digital.

6.2 Inklusi Keuangan Digital sebagai Solusi

Meniago (2025) dalam International Journal of Financial Studies menguji hubungan antara inklusi keuangan digital dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara SADC. Menggunakan teknik system GMM, temuan studi ini secara persuasif mendukung eksistensi hubungan positif antara inklusi keuangan digital dan pertumbuhan ekonomi, yang menandakan bahwa inklusi keuangan digital vital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Data Global Findex (2021) melaporkan bahwa sekitar 33% orang dewasa di Afrika Sub-Sahara memiliki akun mobile money dibandingkan hanya 10% secara global. Platform seperti QRIS dan BI-FAST di Indonesia merupakan langkah ke arah yang benar.

7. Perspektif Ekonomi Pariwisata: Paradoks di Lapangan

7.1 Keunikan Sektor Pariwisata

Sebagai akademisi dan praktisi di sektor pariwisata selama lebih dari dua dekade, penulis mengamati paradoks yang menarik. UMKM pariwisata yang bergerak dibidang inbound dan outbound misalnya memerlukan advance booking untuk seat pesawat dan kamar hotel berbulan-bulan sebelum ketibaan wisatawan manca negara atau sebelum keberangkatan ke luar negeri. Ini membutuhkan modal kerja yang substansial.

OECD Tourism Paper (2017) menegaskan bahwa akses ke pembiayaan Adalah sangat vital untuk mempromosikan kewirausahaan dan pengembangan UMKM serta membangun sektor pariwisata yang inovatif, kompetitif, dan berkelanjutan.

7.2 Hambatan Struktural

Berdasarkan data Statistics Canada (2023), pembiayaan utang adalah jenis pembiayaan yang paling umum dicari oleh UMKM pariwisata. Namun, UMKM pariwisata lebih kecil kemungkinannya mendapat persetujuan untuk pembiayaan utang jangka panjang atau suku bunga lebih rendah, dengan alasan utama adalah penjualan atau arus kas yang tidak memadai, dan beban utang yang relatif lebih tinggi.

Di Indonesia, situasinya serupa. UMKM pariwisata-dari pedagang suvenir di Malioboro, sopir travel di Lombok, hingga pemandu wisata di Labuan Bajo-menanggung beban ganda: biaya modal tinggi dan permintaan yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi.

8. Analisis Kritis: Kontradiksi dalam Posisi Purbaya

8.1 Strategic Ambiguity

Posisi Menteri Keuangan Purbaya mengandung beberapa kontradiksi internal:

1. Mengkritik BI karena kebijakan ketat, namun menolak burden sharing: Burden sharing-di mana bank sentral membantu menanggung beban fiscal-adalah salah satu mekanisme koordinasi paling langsung. Penolakannya atas nama "menjaga independensi BI" bertentangan dengan kritik publiknya yang justru menekan independensi tersebut.

2. Menuntut suku bunga 3,5% namun mempertahankan defisit < 3%: Jika pemerintah sendiri menjalankan fiskal konservatif, mengapa BI yang dituntut lebih agresif?

3. Pergeseran sasaran kritik: Dari BI (September 2025) ke OJK/LPS (Oktober 2025) ke perbankan (November 2025). Ini menunjukkan bahwa Purbaya sendiri mulai menyadari akar masalah bukan di BI semata.

8.2 Masalah Permintaan, Bukan Hanya Penawaran

Data undisbursed loan (kredit disetujui namun tidak ditarik nasabah) mencapai Rp2.372 triliun atau 22,7% dari total plafon kredit. Ini mengindikasikan bahwa masalahnya bukan hanya sisi supply (ketersediaan kredit) tetapi juga sisi demand (permintaan kredit dari pelaku usaha).

9. Rekomendasi Kebijakan

9.1 Reformasi Arsitektur Kelembagaan

Berdasarkan analisis literatur dan kondisi empiris, penulis merekomendasikan:

Pertama, pertimbangan dual mandate untuk Bank Indonesia. Sebagaimana Federal Reserve AS yang memiliki mandat ganda (stabilitas harga dan lapangan kerja maksimum), Indonesia dapat mempertimbangkan perluasan mandat BI. Namun, ini memerlukan amendemen UU yang hati-hati agar tidak mengikis kredibilitas yang telah dibangun.

Kedua, mekanisme koordinasi formal fiskal-moneter. KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dirancang untuk situasi krisis, bukan koordinasi harian. Diperlukan forum koordinasi reguler yang mengikat.

Ketiga, transparansi dan komunikasi yang lebih baik. Studi Fraga et al. tentang inflation targeting di negara berkembang merekomendasikan tingkat transparansi dan komunikasi yang tinggi dengan publik serta pengembangan institusi yang lebih stabil.

9.2 Reformasi Sektor Perbankan

Pertama, tekanan untuk percepat transmisi. Langkah Purbaya memindahkan dana pemerintah ke perbankan dengan syarat disalurkan sebagai kredit (bukan untuk beli SRBI/SBN) adalah langkah ke arah yang tepat.

Kedua, kompetisi dan efisiensi. Konsentrasi perbankan Indonesia yang tinggi perlu diurai. Studi Chauvet dan Jacolin (2017) menunjukkan bahwa dampak positif inklusi keuangan lebih signifikan untuk perusahaan yang beroperasi di pasar perbankan yang kurang terkonsentrasi.

9.3 Akselerasi Inklusi Keuangan Digital

Pertama, perluasan ekosistem QRIS dan BI-FAST untuk UMKM. Platform pembayaran digital telah terbukti memperkuat transmisi kebijakan moneter dan meningkatkan inklusi keuangan.

Kedua, penguatan infrastruktur data kredit. Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) perlu diperluas cakupannya untuk mengurangi asymmetric information yang menghambat penyaluran kredit ke UMKM.

Ketiga, program literasi keuangan terintegrasi. Studi IMF (2024) mengidentifikasi literasi keuangan rendah sebagai salah satu hambatan utama akses kredit UMKM Indonesia.

10. Kesimpulan

Polemik antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mencerminkan dilema fundamental yang dihadapi banyak negara berkembang: bagaimana mengorkestrasi kebijakan fiskal dan moneter secara harmonis dalam konteks kelembagaan yang terfragmentasi dan ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

Kritik Purbaya valid dalam substansi—biaya modal tinggi memang menghambat pertumbuhan UMKM. Namun, solusinya bukan sekadar menekan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga lebih agresif. Bukti empiris dari jurnal-jurnal bereputasi menunjukkan bahwa:

1. Transmisi kebijakan moneter ke UMKM memang lemah secara global, bukan kelemahan unik Indonesia atau Bank Indonesia.

2. Penyumbatan utama ada di level perbankan, bukan di bank sentral. Special rate deposito yang tinggi dan lambatnya penyesuaian suku bunga kredit adalah buktinya.

3. Koordinasi fiskal-moneter memerlukan mekanisme formal, bukan sekadar kritik publik yang justru dapat mengikis kredibilitas.

4. Inklusi keuangan digital menawarkan jalur alternatif yang menjanjikan untuk menjangkau UMKM yang tidak terlayani oleh perbankan tradisional.

Sebagai praktisi pariwisata, penulis merasakan langsung bagaimana kebijakan makroekonomi berdampak pada pedagang suvenir di Malioboro, sopir travel di Lombok, dan pemandu wisata di Labuan Bajo. Mereka tidak peduli siapa yang "benar" dalam perdebatan Purbaya-BI. Yang mereka butuhkan adalah akses modal yang terjangkau untuk mengembangkan usaha dan menghidupi keluarga.

Untuk itu, yang diperlukan bukan pertarungan ego antar-lembaga, melainkan orkestrasi harmonis yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi arsitektur kebijakan—termasuk kemungkinan dual mandate, mekanisme koordinasi formal, dan akselerasi inklusi keuangan digital—adalah agenda mendesak yang harus dituntaskan oleh para pengambil kebijakan.

Referensi

Erceg, C. J., Lindé, J., & Trabandt, M. (2024). Monetary Policy and Inflation Scares. IMF Working Papers, 2024(260).

Garriga, A. C., & Rodriguez, C. M. (2023). Central bank independence and inflation volatility in developing countries. Economic Analysis and Policy, 78, 1320-1341.

Handayani, F. A., & Kacaribu, F. (2023). Asymmetric Transmission of Monetary Policy to Interest Rates: Empirical Evidence from Indonesia. Bulletin of Monetary Economics and Banking, 26(2), 119-150.

Hoque, M. E. et al. (2024). Exploring the dual relationship between fintech and financial inclusion in developing countries. PLOS ONE, 19(12), e0315174.

Hussain, S., Rehman, A. ur, Ullah, S., Waheed, A., & Hassan, S. (2024). Financial Inclusion and Economic Growth: Comparative Panel Evidence from Developed and Developing Asian Countries. SAGE Open, 14(1).

IFC & SME Finance Forum. (2025). MSME Finance Gap Report. International Finance Corporation.

IMF Staff Country Reports. (2024). Financing Barriers and Performance of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs). IMF Staff Country Reports, 2024(271).

IMF Staff Country Reports. (2024). Indonesia: Financial Sector Assessment Program. IMF Staff Country Reports, 2024(272).

Kronick, J., & Petersen, L. (2025). Is monetary and fiscal policy conflict that dire? Journal of Economic Dynamics and Control, 172, 104982.

Lema, E. et al. (2025). The impact of fiscal and monetary policy on economic growth and structural transformation in Tanzania. Cogent Economics & Finance, 13(1), 2499013.

Lubis, A. et al. (2024). Monetary-Macroprudential Policy Synergy Through the Bank Lending Channel in Indonesia. Emerging Markets Finance and Trade, 61(4).

Meniago, C. (2025). Digital Financial Inclusion and Economic Growth: The Moderating Role of Institutions in SADC Countries. International Journal of Financial Studies, 13(1), 4.

Messono, O. O., Zambo, F. A., & Bouebe, A. T. I. A. (2024). Does Central Bank Independence Reduce Economic Vulnerability in Africa? International Journal of Finance & Economics.

Oanh, T. T. K. (2024). Fiscal and Monetary Policies Interaction in Crisis: An Insight Into Japan. SAGE Open, 14(1).

OECD. (2025). Financing SMEs and Entrepreneurs Scoreboard: 2025 Highlights. OECD Publishing.

Phul, S. (2024). Efficacy of Monetary Policy Transmission During the Flexible Inflation Targeting Regime in India. Millennial Asia.

Romelli, D. (2024). Trends in central bank independence: a de-jure perspective. BAFFI CAREFIN Centre Research Paper, No. 217.

Wonida, H., & Setiastuti, S. U. (2025). The effect of monetary, macroprudential policy, and their interaction on bank risk-taking in Indonesia. Research in International Business and Finance, 73, 102581.