Sumatera Menangis: Saatnya Green Tourism Menjadi Gerakan Penyelamatan

Akhir November 2025 akan tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia kontemporer. Siklon tropis Senyar menerjang tiga provinsi di Sumatera secara bersamaan. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat luluh lantak dalam hitungan jam.

Muhammad Rahmad, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti

12/3/20255 min read

Akhir November 2025 akan tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia kontemporer. Siklon tropis Senyar—fenomena langka yang nyaris tidak pernah terjadi di dekat garis khatulistiwa—menerjang tiga provinsi di Sumatera secara bersamaan. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat luluh lantak dalam hitungan jam.

Angka-angka berikut bukan sekadar statistik. Di balik setiap digit tersimpan cerita keluarga yang tercerai-berai, rumah yang rata dengan tanah, dan masa depan yang tiba-tiba gelap.

Per 2 Desember 2025, tercatat 708 jiwa meninggal dunia: 283 di Sumatera Utara, 165 di Sumatera Barat, dan 156 di Aceh. Sebanyak 499 orang masih dinyatakan hilang, nasibnya entah di mana. Lebih dari 2.600 orang mengalami luka-luka dengan berbagai tingkat keparahan.

Namun dampaknya jauh melampaui korban langsung. Sebanyak 3,2 juta jiwa terdampak bencana ini, dengan 1 juta di antaranya harus mengungsi meninggalkan rumah mereka. Bayangkan: satu juta manusia Indonesia tiba-tiba kehilangan tempat bernaung, tidur di tenda-tenda darurat, mengantre makanan, dan tidak tahu kapan bisa pulang.

Kerusakan infrastruktur tak kalah mencengangkan. Lebih dari 28.000 unit rumah rusak dalam berbagai tingkat: 3.500 rusak berat, 4.100 rusak sedang, dan 20.500 rusak ringan. Artinya, puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal permanen mereka. Sebanyak 277 jembatan putus atau rusak, memutus akses antar wilayah. Dan yang paling memilukan bagi masa depan: 1.009 sekolah terdampak, membuat sekitar 175.000 anak tidak bisa belajar.

Presiden Prabowo Subianto langsung turun ke lapangan pada 1 Desember 2025, mengunjungi ketiga provinsi dan memberikan tujuh arahan utama penanganan. Respons pemerintah berjalan, bantuan mengalir, listrik mulai pulih, jalan mulai tembus. Namun pertanyaan besarnya: apakah kita hanya akan berhenti di tanggap darurat, lalu melupakan semuanya setelah berita mereda?

Akar Masalah: Hutang Ekologis yang Kini Ditagih

Bencana ini bukan sepenuhnya "bencana alam" dalam pengertian murni. Ada campur tangan manusia yang sangat besar di baliknya. Sumatera telah kehilangan daya dukung ekologisnya akibat deforestasi masif selama beberapa dekade terakhir.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap fakta yang menyakitkan. Selama era reformasi saja, dari tahun 1998 hingga 2020, sebanyak 3,86 juta hektar kawasan hutan telah dilepaskan untuk berbagai kepentingan. Untuk memberikan gambaran, luasan tersebut setara dengan 55 kali luas DKI Jakarta, atau hampir seluas negara Swiss.

Siapa yang paling banyak melepas? Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencatat angka tertinggi dengan 2,31 juta hektar, disusul era BJ Habibie dengan 763 ribu hektar. Sedangkan di era Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Joko Widodo, relatif kecil.

Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan di Era SBY juga tercatat tinggi, yakni mencapai 322 ribu hektar, sementara di era Jokowi tercatat hanya 131 ribu hektar.

Lalu bagaimana dengan upaya pemulihannya? Di sinilah ketimpangan yang mengerikan terjadi.

Rata-rata rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia baru mencapai 230 ribu hektar per tahun dalam dekade terakhir. Angka ini naik turun: 207 ribu hektar di 2019, anjlok ke 112 ribu hektar di 2020, naik lagi ke 257 ribu hektar di 2022, lalu turun ke 217 ribu hektar di 2024. Bandingkan dengan jutaan hektar yang dilepas.

Dengan lahan kritis yang masih tersisa 12,74 juta hektar dan target reforestasi pemerintah di angka yang sama, dibutuhkan waktu 55 tahun untuk memulihkan semuanya jika kecepatan rehabilitasi tidak ditingkatkan secara drastis.

Yang lebih mengkhawatirkan: Kementerian Kehutanan tidak pernah merilis data keberhasilan reboisasi. Berapa persen dari pohon yang ditanam benar-benar tumbuh menjadi pohon dewasa? Tidak ada yang tahu. Kita menanam, tapi tidak pernah memastikan apakah tanaman itu hidup.

Kondisi Sumatera sendiri sudah sangat kritis. Daerah Aliran Sungai di pulau ini mayoritas sudah dalam kategori kritis dengan tutupan hutan di bawah 25 persen. Dari total 47 juta hektar luas Sumatera, hutan alam yang tersisa diperkirakan hanya 10-14 juta hektar, atau sekitar 30 persen saja.

Ketika hujan ekstrem datang, tidak ada lagi hutan yang menahan air. Tidak ada akar-akar pohon yang menyerap dan memperlambat aliran. Air langsung meluncur deras dari perbukitan gundul, membawa lumpur dan bebatuan, menerjang permukiman di bawahnya. Inilah yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Kita sedang membayar hutang ekologis yang menumpuk selama puluhan tahun, dan 708 nyawa yang melayang adalah bunga dari hutang tersebut.

Solusi: Green Tourism sebagai Gerakan Penyelamatan Massal

Rehabilitasi hutan selama ini selalu dianggap sebagai beban. Proyek pemerintah yang menghabiskan anggaran tanpa hasil yang terukur. Menanam pohon lalu ditinggal, tidak dipelihara, akhirnya mati. Siklusnya terus berulang.

Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Rehabilitasi hutan harus menjadi aktivitas ekonomi yang menguntungkan, bukan sekadar proyek seremonial. Di sinilah konsep Green Tourism menjadi sangat relevan.

Green Tourism adalah pendekatan pariwisata yang menjadikan kelestarian lingkungan sebagai daya tarik utama sekaligus tujuan akhir. Wisatawan datang bukan hanya untuk menikmati, tetapi juga untuk berkontribusi pada pemulihan ekosistem. Pelaku usaha mendapat keuntungan ekonomi, masyarakat lokal terberdayakan, dan hutan kembali hijau. Semua pihak menang.

Pertama, kita perlu membangun Zona Eco-Tourism Rehabilitasi di kawasan-kawasan kritis. Model ini sudah terbukti berhasil di Samboja Lestari, Kalimantan Timur, di mana 1.800 hektar lahan kritis berhasil direhabilitasi sambil menjadi destinasi wisata edukasi. Wisatawan membayar untuk ikut menanam pohon, mengamati satwa liar yang mulai kembali, dan belajar tentang ekosistem hutan tropis. Kawasan DAS kritis di Sumatera bisa dikembangkan dengan model serupa, terutama di sekitar lokasi bencana.

Kedua, Community-Based Forest Tourism harus menjadi tulang punggung gerakan ini. Masyarakat desa di sekitar hutan dilatih menjadi pemandu wisata, pengelola homestay, dan interpreter budaya lokal. Mereka mendapat insentif ekonomi langsung dari kelestarian hutan di sekitar mereka. Ketika hutan menjadi sumber penghidupan, masyarakat akan menjaganya dengan nyawa. Program perhutanan sosial yang sudah berjalan bisa diintegrasikan dengan pengembangan desa wisata berbasis konservasi.

Ketiga, Carbon Tourism dan Corporate Partnership membuka peluang pendanaan besar. Korporasi di seluruh dunia kini berlomba memenuhi komitmen ESG dan net-zero carbon mereka. Indonesia bisa menawarkan program adopsi hutan dan carbon offset yang dikemas sebagai pengalaman wisata eksekutif. Bayangkan CEO perusahaan multinasional diajak menanam pohon di lereng Bukit Barisan, mendapat sertifikat adopsi hutan, dan bisa memantau pertumbuhan pohonnya secara digital. Dana yang mengalir bisa mencapai triliunan rupiah.

Keempat, Digital Monitoring dan Transparency harus menjadi standar baru. Setiap pohon yang ditanam diberi tag digital, bisa dipantau pertumbuhannya melalui aplikasi, dan donatur atau pengadopsi bisa melihat perkembangannya secara real-time. Ini mengatasi masalah klasik reboisasi Indonesia: tidak ada yang tahu berapa pohon yang benar-benar hidup. Teknologi drone dan satellite imaging sudah sangat terjangkau untuk implementasi ini.

Kelima, Integrated Watershed Tourism mengembangkan pariwisata berbasis sungai dan DAS. Rafting, kayaking, river tubing, dan wisata air lainnya dikembangkan di sungai-sungai yang sudah direhabilitasi DAS-nya. Kualitas air menjadi indikator langsung keberhasilan rehabilitasi. Wisatawan menikmati, masyarakat mendapat penghasilan, dan ada insentif kuat untuk menjaga kelestarian hulu sungai.

Langkah Konkret yang Harus Segera Diambil

Untuk mewujudkan visi ini, beberapa kebijakan harus segera diambil.

Pemerintah perlu menetapkan moratorium pelepasan kawasan hutan baru di seluruh Sumatera. Tidak ada lagi izin konversi hutan sampai keseimbangan ekologis pulih. Izin-izin yang sudah ada perlu diaudit: mana yang aktif dan produktif, mana yang terlantar dan bisa dicabut untuk direhabilitasi.

Alokasi anggaran khusus minimal 5 triliun rupiah per tahun untuk rehabilitasi Sumatera harus ditetapkan. Angka ini mungkin terdengar besar, namun bandingkan dengan kerugian ekonomi akibat bencana yang bisa mencapai puluhan triliun, belum termasuk nyawa yang tak ternilai harganya.

Pembentukan Badan Khusus Rehabilitasi Sumatera yang memiliki kewenangan lintas sektor perlu dipertimbangkan. Rehabilitasi hutan tidak bisa ditangani Kementerian LHK sendirian. Perlu koordinasi dengan Kementerian Pariwisata, PUPR, Pertanian, Desa, dan pemerintah daerah.

Insentif fiskal bagi pelaku usaha pariwisata yang mengintegrasikan konservasi dalam bisnisnya harus diberikan. Pengurangan pajak, kemudahan perizinan, dan akses pembiayaan murah bagi hotel, resort, dan operator tur yang menjalankan program reboisasi nyata.

Terakhir, kolaborasi internasional harus dimaksimalkan. Bezos Earth Fund, Green Climate Fund, dan berbagai lembaga internasional memiliki dana triliunan rupiah untuk program konservasi. Indonesia harus lebih agresif mengakses dana-dana ini dengan proposal yang kredibel dan terukur.

Dari Air Mata Menjadi Tekad

Tujuh ratus delapan nyawa sudah pergi. Empat ratus sembilan puluh sembilan masih dicari. Satu juta orang mengungsi. Seratus tujuh puluh lima ribu anak tidak bisa sekolah.

Angka-angka ini harus menjadi pengingat abadi, bukan statistik yang dilupakan setelah berita berganti. Sumatera sedang menangis, dan tangisnya adalah akumulasi dari keserakahan manusia selama puluhan tahun.

Namun dari setiap tragedi selalu ada jalan menuju transformasi. Bencana November 2025 bisa menjadi titik balik jika kita mau mengambil pelajaran dan bertindak berbeda.

Green Tourism bukan sekadar solusi pariwisata. Ia adalah filosofi pembangunan baru yang menyatukan pemulihan ekologi, pemberdayaan ekonomi, dan pencegahan bencana dalam satu gerakan. Ia mengubah rehabilitasi hutan dari beban menjadi peluang, dari proyek pemerintah menjadi gerakan rakyat, dari pengeluaran menjadi investasi.

Sumatera punya waktu. Tapi tidak banyak. Setiap musim hujan yang datang tanpa pemulihan hutan yang memadai adalah ancaman bencana baru. Setiap tahun yang berlalu tanpa perubahan paradigma adalah hutang ekologis yang makin menumpuk.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita akan menunggu tragedi berikutnya, atau mulai bergerak hari ini?

Ditulis sebagai refleksi dan panggilan aksi pasca bencana banjir bandang Sumatera, November 2025