Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta: Megah di Mata, Lelah di Kaki

Terminal 3 Soekarno-Hatta memukau dengan arsitektur modern dan fasilitas lengkap, namun jarak tempuh yang sangat jauh antar area menjadi tantangan tersendiri bagi penumpang — sebuah ironi antara kemegahan visual dan kenyamanan fungsional.

Muhammad Rahmad (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti)

12/2/20256 min read

Seorang turis asal Jerman mendarat di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta setelah 14 jam penerbangan. Ia bermimpi tentang Bali, Borobudur, dan Raja Ampat. Namun mimpi indah itu langsung buyar ketika ia harus berjalan hampir satu kilometer menyeret koper 23 kilogram menuju area imigrasi. Kakinya mulai nyeri. Ia mencari lift untuk berpindah lantai—dan menemukan bahwa elevator terdekat berjarak 400 meter lagi.

Inilah kesan pertama Indonesia bagi jutaan wisatawan mancanegara: kelelahan.

Terminal 3 Soekarno-Hatta memang tampak megah dengan luas 422.804 meter persegi dan arsitektur modern yang instagramable. Namun di balik kemegahan itu tersembunyi realitas pahit: hanya tersedia empat unit lift penumpang—dua di sisi barat, dua di sisi timur—dengan kapasitas masing-masing hanya dua orang dengan troley bagasi. Eskalator pun hanya ada di dua lokasi yang sama. Jarak antar fasilitas sirkulasi vertikal ini lebih dari 400 meter. Tidak ada automated people mover. Travelator yang tersedia terbatas dan terputus-putus.

Bagi wisatawan yang baru saja menempuh perjalanan panjang, bagi jemaah umrah dan haji yang mayoritas lanjut usia, bagi penyandang disabilitas, bagi keluarga dengan balita—Terminal 3 bukan gerbang selamat datang. Terminal 3 adalah ujian ketahanan fisik.

Dalam industri pariwisata, kesan pertama adalah segalanya.

Pariwisata Dimulai dari Bandara

Dalam perspektif destination competitiveness, bandara bukan sekadar infrastruktur transportasi. Bandara adalah "ruang tamu negara"—tempat pertama wisatawan bersentuhan dengan sebuah destinasi. Pengalaman di bandara membentuk ekspektasi, memengaruhi mood, dan pada akhirnya menentukan apakah seorang wisatawan akan kembali atau merekomendasikan destinasi tersebut kepada orang lain.

Jurnal-jurnal akademik bereputasi internasional dalam tiga tahun terakhir menegaskan hal ini dengan bukti empiris.

Marčetić et al. (2023) menemukan korelasi langsung antara kualitas infrastruktur terminal bandara dengan customer experience dan persepsi wisatawan terhadap keseluruhan destinasi. Bandara yang memberikan pengalaman negatif menciptakan bias persepsi yang sulit dipulihkan, bahkan setelah wisatawan menikmati destinasi utamanya.

Nguyen et al. (2024) menganalisis hubungan antara infrastruktur transportasi udara dengan pertumbuhan pariwisata dan ekonomi. Temuan mereka jelas: kualitas fasilitas bandara adalah prediktor signifikan terhadap volume wisatawan dan penerimaan devisa pariwisata.

Anagnostopoulou et al. (2024) mengembangkan model simulasi untuk passenger flow di terminal bandara. Riset mereka menunjukkan bahwa bottleneck pada fasilitas sirkulasi vertikal—lift dan eskalator yang tidak memadai—adalah penyebab utama overcrowding, peningkatan waktu tunggu, dan penurunan drastis level of service yang langsung berdampak pada kepuasan penumpang.

Sementara Gotti et al. (2024) secara khusus menyoroti kegagalan banyak bandara dalam memenuhi prinsip universal design untuk penyandang disabilitas. Dalam konteks pariwisata inklusif yang kini menjadi tren global, bandara yang tidak aksesibel adalah bandara yang kehilangan segmen pasar yang terus bertumbuh.

Tetangga Melaju, Kita Tertinggal

Perbandingan dengan negara-negara ASEAN membuat ironi ini semakin menyakitkan.

Singapura dan Changi Airport

Changi Airport bukan sekadar bandara—ia adalah destinasi wisata tersendiri. Dengan Jewel Changi yang ikonik, air terjun dalam ruangan tertinggi di dunia, dan Skytrain yang telah beroperasi sejak 1990, Changi menjadi benchmark bandara dunia. Sistem automated people mover sepanjang 6,4 kilometer menghubungkan seluruh terminal dengan tujuh stasiun, beroperasi gratis dari pukul 05.00 hingga 02.30 dengan frekuensi 1-4 menit. Waktu tempuh antar terminal hanya 4 menit (Changi Airport Group, 2024).

Changi telah memenangkan penghargaan "World's Best Airport" dari Skytrax 13 kali, termasuk delapan tahun berturut-turut (2013-2020) dan kembali meraihnya pada 2023 dan 2025. Pada 2024, Changi melayani 67,7 juta penumpang.

Hasilnya? Singapura menerima 15,13 juta wisatawan mancanegara hingga November 2024—naik 22 persen dari tahun sebelumnya (Singapore Tourism Board, 2024). Negara sekecil ujung jari ini mengalahkan Indonesia dalam menarik wisatawan.

Thailand dan Suvarnabhumi Airport

Suvarnabhumi Airport Bangkok mengoperasikan Automated People Mover (APM) buatan Siemens yang menghubungkan terminal utama dengan satelit terminal. Sistem ini beroperasi 24 jam dengan interval 3 menit. Setiap kereta mengangkut hingga 210 penumpang. Terminal satelit SAT-1 yang dibuka September 2023 dilengkapi dengan 53 elevator, 83 eskalator, dan 38 moving sidewalk (Airports of Thailand, 2024). Pada 2024, Suvarnabhumi melayani lebih dari 62 juta penumpang dan merupakan bandara tersibuk ke-20 di dunia.

Thailand menerima lebih dari 33 juta wisatawan mancanegara hingga November 2024—hampir tiga kali lipat Indonesia (Tourism Authority of Thailand, 2024). Negeri Gajah Putih ini memahami bahwa wisatawan yang lelah di bandara adalah wisatawan yang kehilangan antusiasme untuk berbelanja, makan, dan menikmati destinasi.

Malaysia dan KLIA

KLIA memiliki Aerotrain yang menghubungkan terminal utama dengan terminal satelit sejak bandara dibuka pada 1998. Meski saat ini sedang dalam proses pembaruan dengan sistem Innovia APM 300 yang dijadwalkan beroperasi penuh 2025, konsep dasar memudahkan pergerakan penumpang sudah tertanam dalam DNA bandara ini sejak awal (Malaysia Airports Holdings Berhad, 2024). KLIA melayani lebih dari 55 juta penumpang pada 2024.

Malaysia menerima lebih dari 20 juta wisatawan mancanegara hingga Oktober 2024. Target mereka 27,3 juta untuk setahun penuh. Malaysia bahkan dinobatkan sebagai "negara paling dicintai di Asia" oleh survei Insider Monkey (Tourism Malaysia, 2024).

Indonesia: Megah tapi Melelahkan

Lalu di mana posisi Indonesia? Hingga November 2024, Indonesia menerima 12,66 juta wisatawan mancanegara. Memang naik 20 persen dari tahun sebelumnya dan merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun (Badan Pusat Statistik, 2024). Namun angka ini masih jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia, bahkan Singapura yang luasnya hanya sebesar Kepulauan Seribu.

Indonesia memiliki 17.000 pulau, ratusan suku bangsa, ribuan destinasi wisata kelas dunia. Indonesia punya Bali, Borobudur, Komodo, Raja Ampat, Toraja, Danau Toba. Kekayaan alam dan budaya kita tak tertandingi di ASEAN. Namun kita kalah di gerbang masuk.

Wisatawan yang mendarat di Changi disambut dengan efisiensi dan kemewahan. Yang mendarat di Suvarnabhumi merasakan kenyamanan modern. Yang mendarat di KLIA menemukan kemudahan.

Yang mendarat di Terminal 3 Soekarno-Hatta? Mereka disambut dengan jalan kaki satu kilometer dan antrean lift.

Dampak Ekonomi yang Tersembunyi

Ketidaknyamanan di bandara bukan sekadar masalah pengalaman—ia adalah masalah ekonomi.

Wisatawan yang kelelahan cenderung mengurangi aktivitas di hari pertama. Mereka langsung menuju hotel untuk beristirahat, bukan menjelajahi kota atau berbelanja. Momentum antusiasme yang seharusnya tersalurkan ke spending ekonomi hilang di koridor bandara yang panjang.

Lebih serius lagi adalah dampak terhadap repeat visitors dan word-of-mouth. Dalam era media sosial, satu tweet tentang pengalaman buruk di bandara bisa dibaca jutaan orang. Satu review negatif di TripAdvisor bisa memengaruhi keputusan ratusan calon wisatawan. Kesan pertama yang buruk menyebar lebih cepat dari promosi Wonderful Indonesia mana pun.

Indonesia juga merupakan pengirim jemaah haji dan umrah terbesar di dunia. Mayoritas jemaah adalah lansia dengan bagasi berat. Bagi mereka, berjalan 400 meter ke lift bukan ketidaknyamanan—ini adalah penderitaan. Dan mereka akan bercerita kepada anak, cucu, saudara, tetangga.

Pariwisata Indonesia kehilangan daya saing bukan karena destinasinya kurang menarik, tapi karena pintunya tidak ramah.

Wajah Bangsa di Gerbang Masuk

Pariwisata adalah industri kesan. Kesan pertama menentukan segalanya. Dan kesan pertama Indonesia bagi wisatawan mancanegara adalah Terminal 3 Soekarno-Hatta.

Saat ini, kesan itu berbunyi: "Indonesia pandai membangun yang megah, tapi kurang peduli dengan kenyamanan tamu."

Kita tidak bisa terus mengandalkan keindahan Bali atau eksotisme Komodo untuk menutupi kelemahan di gerbang masuk. Wisatawan modern memiliki pilihan. Jika bandara Indonesia melelahkan sementara bandara Singapura, Thailand, dan Malaysia memanjakan, pilihan mereka jelas.

Indonesia menargetkan puluhan juta wisatawan mancanegara. Indonesia ingin pariwisata menjadi pilar devisa negara. Indonesia ingin bersaing dengan Thailand dan Malaysia. Namun ambisi besar ini tidak akan tercapai jika gerbang utama kita masih mengutamakan kemegahan di atas fungsi, estetika di atas kenyamanan.

Terminal 3 Soekarno-Hatta adalah metafora yang sempurna tentang bagaimana Indonesia sering merencanakan pembangunan: besar, megah, ambisius—tapi melupakan detail yang justru menentukan pengalaman nyata pengguna.

Megah di mata, lelah di kaki. Paradoks ini harus diakhiri jika Indonesia serius ingin bersaing di panggung pariwisata global.

Wisatawan tidak datang untuk mengagumi arsitektur bandara. Mereka datang untuk menikmati Indonesia. Tugas bandara adalah mengantarkan mereka ke destinasi dengan nyaman, bukan menguras tenaga mereka sebelum perjalanan dimulai.

Sudah saatnya kita berbenah. Bukan demi gengsi, tapi demi daya saing. Bukan demi pujian, tapi demi devisa. Bukan demi proyek, tapi demi pariwisata Indonesia yang sesungguhnya wonderful—dari gerbang masuk hingga gerbang keluar.

Referensi

Airports of Thailand. (2024). Suvarnabhumi Airport: Facilities and services. https://suvarnabhumi.airportthai.co.th/

Anagnostopoulou, A., Botzoris, G., Kokkalis, A., Lemonakis, P., & Papadopoulos, E. (2024). The analysis and AI simulation of passenger flows in an airport terminal: A decision-making tool. Sustainability, 16 (3), Article 1346. https://doi.org/10.3390/su16031346

Badan Pusat Statistik. (2024, Desember 2). Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara Januari-November 2024 terbanyak dalam 5 tahun [Siaran pers]. https://www.bps.go.id/

Changi Airport Group. (2024). Annual report 2023/24: Traffic statistics. https://www.changiairport.com/

Gotti, E., Caravaggi, A., Costi, S., Marchetti, P., Bardelli, S., & Paltrinieri, A. (2024). Airport accessibility for people with disabilities: A scoping review. Frontiers in Rehabilitation Sciences, 5, Article 1305191. https://doi.org/10.3389/fresc.2024.1305191

Malaysia Airports Holdings Berhad. (2024). KLIA Aerotrain replacement project update. https://www.malaysiaairports.com.my/

Marčetić, S., Petrović, M., & Đorđević, A. (2023). Impact of new terminal infrastructure on customer experience at airports. Sustainability, 15 (17), Article 13188. https://doi.org/10.3390/su151713188

Nguyen, H. M., Nguyen, C., & Ngo, T. Q. (2024). Air transport, tourism, and economic growth: Evidence from emerging economies. Economies, 12 (9), Article 236. https://doi.org/10.3390/economies12090236

Singapore Tourism Board. (2024, Desember). International visitor arrivals statistics November 2024.https://www.stb.gov.sg/

Tourism Authority of Thailand. (2024). Thailand tourism statistics 2024. https://www.tatnews.org/

Tourism Malaysia. (2024). Tourist arrivals to Malaysia January-October 2024. https://www.tourism.gov.my/