Transformasi Kawasan Industri Menjadi Destinasi Wisata: Peluang Baru Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki 165 kawasan industri dan lebih dari 32.000 perusahaan manufaktur skala besar-menengah yang selama ini dikelola dengan paradigma konvensional—berfokus semata pada efisiensi produksi. Namun, tren global menunjukkan pergeseran signifikan: kawasan industri kini bertransformasi menjadi destinasi wisata bernilai ekonomi tinggi.
Muhammad Rahmad, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Institut Pariwisata Trisakti, Jakarta
12/11/20254 min read


Pendahuluan
Indonesia memiliki 165 kawasan industri dan lebih dari 32.000 perusahaan manufaktur skala besar-menengah yang selama ini dikelola dengan paradigma konvensional—berfokus semata pada efisiensi produksi. Namun, tren global menunjukkan pergeseran signifikan: kawasan industri kini bertransformasi menjadi destinasi wisata bernilai ekonomi tinggi. Pasar industrial tourism global telah mencapai USD 17,2 miliar pada 2024 dengan proyeksi pertumbuhan 7,8% per tahun hingga 2035.
Pertanyaan strategisnya: dapatkah Indonesia menangkap peluang ini?
Memahami Industrial Tourism
Edwards dan Llurdés (1996) dalam Annals of Tourism Research mendefinisikan industrial tourism sebagai pengembangan aktivitas wisata pada situs, bangunan, dan lanskap buatan manusia yang berasal dari proses industri. Definisi ini telah berkembang—Rodriguez-Zulaica (2017) memperluas cakupannya hingga mencakup industri aktif yang membuka diri terhadap kunjungan publik, bukan hanya situs warisan industri.
Terdapat dua pendekatan utama dalam industrial tourism. Pertama, industrial heritage tourism yang memanfaatkan elemen dari masa lalu industri sebagai daya tarik. Kedua, living industry tourism yang memungkinkan wisatawan mengalami langsung proses produksi di pabrik yang masih beroperasi. Keduanya menawarkan proposisi nilai yang unik: edukasi, hiburan, dan pengalaman otentik yang tidak dapat ditemukan di destinasi wisata konvensional.
Dari Paradigma Konvensional ke Transformasi Nilai
Pengelolaan kawasan industri konvensional memiliki karakteristik yang membatasi potensi nilai tambah. Orientasinya eksklusif pada tenant industri dengan minimalisasi akses publik. Branding berfokus pada investor, bukan masyarakat. Hubungan dengan komunitas lokal bersifat mitigatif, bukan sinergis.
Otgaar et al. (2010) mengidentifikasi bahwa model ini mengabaikan peluang yang dapat diciptakan melalui keterbukaan terhadap publik. Szromek et al. (2020) dalam Tourism Management mengembangkan model transformasi post-productionsebagai pendekatan efektif untuk mengkonversi fasilitas produksi menjadi destinasi wisata—sekaligus satu-satunya cara melestarikan warisan budaya industri dari degradasi.
Transformasi ini bukan sekadar diversifikasi bisnis. Pine dan Gilmore (1999) dalam teori experience economyberargumen bahwa nilai ekonomi tertinggi terletak pada pengalaman yang memorable. Kawasan industri memiliki potensi unik: menyaksikan proses produksi secara langsung, berinteraksi dengan teknologi mutakhir, dan memahami kontribusi industri terhadap kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran dari Praktik Global
BMW Welt di Munich menarik 2,93 juta pengunjung per tahun—menjadikannya atraksi wisata paling populer di Bavaria. Volkswagen Autostadt di Wolfsburg menerima sekitar 2 juta pengunjung tahunan. Toyota Kaikan Museum di Jepang memungkinkan pengunjung menyaksikan sistem Just-In-Time yang legendaris. Keberhasilan ini membuktikan bahwa industri dan pariwisata dapat bersinergi secara menguntungkan.
Di tingkat jaringan, European Route of Industrial Heritage (ERIH) menghubungkan lebih dari 2.500 situs industri di 50 negara dengan sistem hierarki Anchor Points, Regional Routes, dan Theme Routes. Model network marketing ERIH menunjukkan bahwa kolaborasi antar-situs menciptakan sinergi pemasaran yang lebih kuat dibandingkan pendekatan individual.
Indonesia telah memiliki embrio industrial tourism. PT Sido Muncul di Semarang menerima kunjungan edukasi untuk melihat proses produksi jamu. House of Sampoerna di Surabaya berfungsi sebagai museum hidup sekaligus pabrik aktif. Namun, inisiatif-inisiatif ini belum terkoordinasi dalam kerangka nasional yang sistematis.
Potensi Ekonomi: Perhitungan Realistis
Dengan pengeluaran wisatawan domestik Indonesia yang diproyeksikan mencapai Rp 381,4 triliun pada 2025 dan lebih dari 1 miliar perjalanan wisata nusantara, basis pasar untuk industrial tourism sangat substansial.
Menggunakan pendekatan top-down dengan asumsi penetrasi 2,5-5% dari total pasar wisata domestik, potensi industrial tourism Indonesia berkisar antara Rp 10-19 triliun per tahun. Dengan efek pengganda dari akomodasi, transportasi, kuliner, dan sektor pendukung lainnya, nilai ekonomi total dapat mencapai Rp 25-50 triliun per tahun.
Pendekatan bottom-up memberikan validasi: jika 50 kawasan industri (30% dari total) masing-masing menerima 50.000 pengunjung per tahun dengan pengeluaran rata-rata Rp 250.000, ditambah 500 pabrik individual dengan 10.000 pengunjung dan pengeluaran Rp 150.000, maka pendapatan langsung mencapai Rp 1,4 triliun—yang dengan multiplier effect 2,5x menjadi Rp 3,5 triliun. Angka ini masih konservatif dan dapat tumbuh signifikan seiring pengembangan infrastruktur dan kesadaran pasar.
Segmen Pasar Strategis
Tiga segmen pasar utama dapat diidentifikasi untuk industrial tourism Indonesia.
Pertama, wisata edukasi yang menargetkan 50 juta pelajar dan 8 juta mahasiswa. Kunjungan industri sebagai bagian dari kurikulum menawarkan volume besar dengan loyalitas institusional.
Kedua, wisata MICE dan korporat yang memanfaatkan fasilitas industri untuk site visit, team building, dan networking. Segmen ini memiliki spending per kapita tinggi.
Ketiga, wisata keluarga dan masyarakat umum yang tertarik melihat behind-the-scenes proses produksi produk yang mereka konsumsi sehari-hari—dari pabrik makanan-minuman hingga otomotif dan farmasi.
Kerangka Implementasi
Hospers (2002) dalam European Planning Studies menekankan bahwa industrial heritage tourism berperan penting dalam restrukturisasi regional. Untuk Indonesia, implementasi memerlukan beberapa langkah strategis.
Tahap pertama adalah pemetaan dan klasifikasi kawasan industri potensial berdasarkan sektor, aksesibilitas, dan kesiapan infrastruktur. Identifikasi anchor points yang dapat menjadi lokomotif pengembangan.
Tahap kedua adalah pengembangan produk yang mencakup living industry tours di pabrik aktif, konversi situs industri historis menjadi museum, dan penciptaan rute tematik berdasarkan sektor industri.
Tahap ketiga adalah standarisasi dan sertifikasi untuk menjamin kualitas pengalaman pengunjung dan keselamatan operasional. Adopsi model Seal of Quality ERIH dapat menjadi referensi.
Tahap keempat adalah pembentukan jaringan nasional industrial tourism yang mengkoordinasikan pemasaran, berbagi praktik terbaik, dan memfasilitasi kolaborasi antar-pemangku kepentingan.
Rekomendasi Kebijakan
Aas et al. (2005) dalam Annals of Tourism Research menekankan pentingnya kolaborasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan warisan. Untuk merealisasikan potensi industrial tourism, diperlukan koordinasi antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata, pemerintah daerah, asosiasi kawasan industri, dan pelaku usaha.
Insentif fiskal bagi kawasan industri yang membuka fasilitas untuk kunjungan publik dengan standar keamanan memadai perlu dipertimbangkan. Integrasi konsep industrial tourism dalam perencanaan tata ruang kawasan industri baru juga menjadi keharusan, dengan alokasi ruang untuk visitor center dan fasilitas pendukung.
Penutup
Transformasi kawasan industri menjadi destinasi wisata bukan sekadar diversifikasi bisnis—ini adalah imperatif strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Dengan 165 kawasan industri dan puluhan ribu pabrik yang sudah ada, Indonesia memiliki aset luar biasa yang menunggu untuk dioptimalkan.
Seperti yang dikemukakan Hunter (1997) dalam Annals of Tourism Research, pariwisata berkelanjutan harus dipahami sebagai paradigma adaptif yang menyesuaikan diri dengan konteks lokal. Industrial tourism Indonesia tidak perlu menjadi replika model Eropa atau Jepang—ia harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik unik kawasan industri Indonesia dan preferensi wisatawan domestik.
Potensi ekonomi Rp 10-50 triliun per tahun bukan angka fantasi—ini adalah peluang nyata yang menunggu untuk direalisasikan. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu, melainkan seberapa cepat kita dapat bergerak.
Referensi
Aas, C., Ladkin, A., & Fletcher, J. (2005). Stakeholder collaboration and heritage management. Annals of Tourism Research, 32(1), 28–48.
Edwards, J. A., & Llurdés, J. C. (1996). Mines and quarries: Industrial heritage tourism. Annals of Tourism Research, 23(2), 341–363.
Hospers, G. J. (2002). Industrial heritage tourism and regional restructuring in the European Union. European Planning Studies, 10(3), 397–404.
Hunter, C. (1997). Sustainable tourism as an adaptive paradigm. Annals of Tourism Research, 24(4), 850–867.
Otgaar, A. H. J., Van den Berg, L., Berger, C., & Xiang Feng, R. (2010). Industrial tourism: Opportunities for city and enterprise. Ashgate Publishing.
Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (1999). The experience economy: Work is theatre and every business a stage. Harvard Business School Press.
Rodriguez-Zulaica, A. (2017). What is industrial tourism? In Encyclopedia of Tourism. Springer.
Szromek, A. R., Herman, K., & Naramski, M. (2020). Sustainable development of industrial heritage tourism – A case study of the Industrial Monuments Route in Poland. Tourism Management, 83, 104252.
